Senin, 04 Juli 2011

"Pengorbananku"

 By : Lulud Emerzet d'Wildy Kedua


Namaku Putri. Aku tinggal bersama papa, mama dan kakakku yang bernama Lita. Umur aku dan umur kakak aku cuma beda 2 tahun saja. Sekarang aku duduk di kelas 8 dan kakakku duduk di kelas 10. Aku adalah cewek yang tomboy, tapi aku masih tetap bisa berperilaku seperti cewek saat sedang kepepet.
            Dulu hidupku penuh dengan rasa kasih sayang. Banyak yang sayang sama aku walaupun perilakuku seperti cowok.  Di sekolah aku juga menjadi siswa terfavorit karena aku selalu mengikuti kegiatan lomba-lomba mewakili sekolah dan bisa meraih juara. Aku merasa sebagai orang paling bahagia karena di kelilingi oleh orang-orang yang sayang sama aku.
            Tapi semua itu berubah saat di keluargaku ada sedikit kesalah pahaman. Papa dan mama berantem karena ada seorang cewek separuh baya dengan mamaku yang mengaku sebagai istri kedua papa. Aku pun juga sering berantem dengan kakakku gara-gara cowok. Aku dan kakakku suka sama cowok yang sama. Cowok itu bernama Bian.
            Akhirnya keluargaku hancur berantakan. Papa, mama, dan kakakku selalu sibuk dengan urusan masing-masing. Mereka hampir tidak pernah saling menyapa. Prestasiku di sekolah pun menurun drastis. Dan aku yang dulu sudah berubah 180⁰. Aku suka marah-marah, suka menganiaya orang, bahkan aku juga hampir membunuh orang. Semangatku yang dulu sudah tidak ada lagi.
            Saat aku pulang sekolah, pikiran aku bener-bener kalut. Aku gak bisa berpikir jernih. Aku berniat untuk bunuh diri. Aku mencoba terjun di jurang pinggir jalan dekat sekolahku. Tapi saat aku mau loncat, ada seseorang yang memegang tanganku. Ternyata dia adalah pak Rino penjaga sekolahku. Pak Rino sangat akrab denganku. Pak Rino bilang, “Neng, jangan putus asa ya. Semua masalah pasti ada penyelesaiannya”. Aku tak mengeluarkan sepatah katapun. Aku hanya bisa meneteskan air mata saja.
            Tiba-tiba kepalaku terasa pusing banget. Pusing setengah mati. Aku gak tahan lagi dan akhirnya aku pingsan. Pak Rino yang melihatku pingsan, dengan secepatnya Pak Rino melarikanku ke Rumah Sakit. Setelah beberapa jam aku tersadar, tapi kepala aku masih terasa sedikit pusing. Mungkin karena pengaruh suntikan.
            Pak Rino yang mengetahui aku sudah sadar, segera memanggil dokter. Dokter muncul di balik pintu dengan membawa sebuah kertas yang di bungkus amplop. Setelah dokter memeriksa keadaan aku, dokter membuka kertas itu yang berisi hasil test darah aku dari laboratorium. Dengan gugup dokter mengatakan bahwa aku mengidap penyakit kanker otak stadium akhir. Aku kaget mendengarnya. Aku bingung harus senang atau susah. Aku memang pengen cepat mati, tapi aku juga ingin membuat keluarga aku utuh lagi. Sebelum waktuku habis, aku mencoba untuk menyatukan keluarga aku lagi walaupun itu sangat sulit.
            Satu bulan telah berlalu, usahaku untuk menyatukan keluarga aku tak pernah berhasil. Aku hampir putus asa, tapi aku juga gak mau menyia-nyiakan waktuku yang sangat sempit ini. Aku hanya bisa menangisi keadaanku sekarang. Setiap malam aku selalu berdoa semoga keluargaku bisa utuh lagi, sebelum aku pergi meninggalkan mereka.
            Pagi ini, aku berniat mau kabur dari rumah sakit. Aku gak peduli separah apa keadaanku sekarang. Aku pulang ke rumah. Aku berharap saat sampai rumah nanti, keluargaku masih ada di rumah. Tapi harapanku hanyalah sekedar harapan yang tak akan pernah terwujud. Ternyata mereka sudah pergi mengurusi urusan masing-masing.
            Sesampai rumah, aku ketemu sama mbok Iyem pembantu di rumahku. Mbok Iyem menanyakan kabarku. Memang setelah keluargaku hancur, hanyalah mbok Iyem yang masih perhatian sama aku walaupun mbok Iyem belum mengetahui tentang penyakitku. Aku sengaja menyembunyikan penyakitku dari mbok Iyem, karena aku takut mbok Iyem mengadu sama keluargaku.
            Aku menayakan keadaan keluargaku saat aku gak ada di rumah. Kata mbok Iyem keluargaku masih sama saja. Mereka malah sering marah-marah pada mbok Iyem tanpa sebab yang jelas.  Kakakku juga sering pulang malam dalam keadaan mabuk. Bahkan mama dan papaku sudah tidak peduli dengan anak-anaknya lagi. Yang mereka pikirkan hanyalah bisnis, bisnis dan bisnis. Keluargaku sudah tidak pernah mentaati peraturan yang mereka buat sendiri yaitu sampai rumah paling lambat pukul 8malam lalu makan malam bersama keluarga.
            Malam ini, aku berniat menunggu papa, mama, dan kakakku pulang. Walaupun kepalaku sangat pusing, tapi aku harus bias bertahan demi keutuhan keluargaku.
Malam semakin larut, jam telah menunjukkan pukul 12 malam. Aku belum juga melihat tanda-tanda salah satu anggota keluargaku pulang. Aku trus menunggu hingga waktu menunjukkan pukul 2 malam. Terdengar suara mobil di depan rumah. Ternyata itu kakakku pulang, tapi kakakku tidak pulang sendiri. Dia diantar seorang cowok dalam keadaan mabuk berat. Kubukakan pintu rumah dan aku rebut gendongan cowok itu dari kakakku dengan kasar, lalu cowok itu langsung aku usir. Dalam keadaan seperti itu, aku gak mungkin berbicara dengan kakakku. Akhirnya aku biarkan dia tidur di sofa. Tak lama kemudian aku melihat mamaku dari balik pintu. Mamaku langsung masuk kamar, tanpa mempedulikan aku. Kuketuk pintu kamar mama.  “Jangan ganggu saya. Saya capek dan mau tidur dulu !”, jawab mama dengan nada kasar. Tak tersadar air mataku telah menetes di pipi.
Sambil nunggu papa pulang, aku sholat tahajud dulu. Aku menangis tanpa henti sampai terdengar suara adzan yang tandanya sudah waktunya sholat subuh. Tapi kenapa sampai waktu subuh begini aku juga belum melihat tanda-tanda papa pulang. Aku mencoba tuk trus bersabar.
Aku ambil air wudlu. Saat itu, aku melihat mbok Iyem di mushola keluarga. Lalu aku mengajak mbok Iyem untuk sholat berjamaah. Seperti biasa, setelah sholat aku selalu berdoa untuk keutuhan keluargaku kembali. Tak tersadar air mataku menetes lagi saat aku berdoa. Mbok Iyem yang melihatku menangis saat aku berdoa pun terharu. Setelah selesai berdoa, mbok Iyem bilang kalau aku harus bersabar dan Allah akan mendengar setiap doa-doa manusia yang tulus dari hati.
Jam telah menunjukkan pukul 5 pagi, papaku baru saja pulang. Papa pulang dalam keadaan berantakan. Dan mulutnya juga berbau alkohol. Papa langsung masuk kamar, tapi kamarnya telah berpisah dengan mama. Mama tidur di kamar atas, dan papa tidur di kamar bawah.
Sambil menunggu mereka bangun tidur, aku sengaja membuatkan mereka sarapan. Agar mereka mau sarapan bersama lagi. Jam 8, aku melihat mereka keluar kamar dalam keadaan sangat rapi. Mungkin mereka mau pergi lagi. Tapi aku mendengar Kak Lita teriak-teriak memanggil mbok Iyem. Ternyata itu masalah pintu depan yang masih terkunci. Aku memang sengaja mengunci semua pintu rumah, agar mereka tidak bias keluar. Mama, papa dan kakakku juga bingung karena kunci cadangan yang mereka bawa juga hilang. Itu juga karena kunci yang mereka bawa telah aku ambil semua.
Dalam keadaan pucat pasi, aku muncul di depan mereka. “Kalian mencari kunci ini ?” sahutku dengan kata-kata yang halus. “Iya, mana kuncinya”, jawab kak Lita. “Eits, gak boleh. Seperti dulu lagi, jika belum sarapan bersama kalian tidak boleh keluar dari rumah!”, jawabku dengan senyuman. “Aarrgghh, cepetan mana kuncinya. Kalau mau sarapan, sarapan aja sendiri. Gue gak mau sarapan sama orang gila kayak loe dan keluarga loe!” Jawab kak Lita dengan kasar. “Apa kamu bilang. Saya gila ? Kamu tuh yang gila. Dasar anak durhaka!”, jawab mama. “Udahlah. Kasih kuncinya atau  saya usir kamu dari rumah ini!”, sahut papa dengan kasar. “Ow, kalian mau aku pergi dari rumah ini. Oke, aku akan pergi. Tapi sebelum aku pergi, aku mau kalian menemani aku sarapan dulu”, jawabku. “Gak !!”, jawab mereka dengan sangat kasar. Kepalaku semakin pusing, pusing setengah mati. Penglihatanku juga mulai memburam. Tapi aku harus tetap bertahan di depan mereka, agar mereka tidak mengetahui keadaanku.
Suara bel rumah berbunyi, itu bertanda ada tamu yang datang. Aku buka pintu. Ternyata itu dokter Arif, dokter yang menangani penyakitku selama ini. “Dokter ? Dokter tau rumah saya dari mana ?”, tanyaku. “Dokter tau dari pak Rino, sayang”, jawab dokter. Sayang adalah panggilan dokter Arif kepadaku karena aku sudah dia anggap sebagai anaknya sendiri. “Dokter mau ngapain kesini ?”, tanyaku lagi. Belum sempat dokter menjawab, aku melihat kakakku keluar dari rumah. Tapi untung saja aku bisa mencegahnya. Lalu aku mengajak dokter masuk rumah, dan aku kunci kembali pintu rumah agar tidak ada yang bisa keluar lagi. Papa, mama dan kakakku melihatku dengan pandangan yang sangat tajam.
Akhirnya aku tinggal dokter di ruang tamu sendirian, karena aku harus menyelesaikan masalahku dengan keluargaku. “Kalian sarapan dulu atau kalian tidak akan bisa keluar dari rumah ini”, sahutku dengan kasar. “Oke, oke. Gue mau sarapan, tapi habis sarapan loe harus langsung bukakan pintu !”, jawab kak Lita. “Oke”, jawab mama dan papa.
Aku seneng banget, akhirnya mereka mau aku ajak sarapan bersama lagi. Walaupun suasananya tidak seperti dulu lagi. Aku juga mengajak dokter Arif untuk ikut sarapan juga. “Ma, ini sayurnya aku ambilin. Yang masak aku sendiri lho”, kataku. “Gak nanya !”, sahut mama dengan kasar. Dokter yang mendengar kata-kata mama itu langsung terkejut. “Pa, papa mau di ambilin apa lagi ?”, tanyaku pada papa. “Gak usah!”,  jawab papaku dengan kasar juga.
Hatiku benar-benar sakit melihat perkataan mama dan papa padaku. Ingin rasanya meneteskan air mata dan teriak sekeras-kerasnya, tapi aku gak bisa melakukan itu di depan mereka.
Saat sedang makan, tiba-tiba aku muntah darah. Tubuhku langsung melemah, wajahku juga sudah pucat banget. Akhirnya aku pingsan. Dokter yang keadaanku sekarang pun panik. Mbok Iyem kaget melihatku. Tapi bagaimana respon keluargaku melihat keadaanku ?. Mereka tenang-tenang saja. Mereka sama sekali tidak terlihat panik. Dokter yang melihat respon keluargaku pun marah-marah. “Hey, kalian kok tenang-tenang saja. Lihat ini, Putri pingsan. Apa kalian gak punya perasaan ?”, kata dokter. “Halah, paling dia Cuma akting. Diakan pinter akting”, kata mama dengan santai. “Kalian benar-benar gak punya hati. Asal kalian tau, Putri itu mengidap penyakit kanker otak dan itu sudah stadium akhir”, sahut dokter dengan kasar. “Kalau dia mengidap penyakit itu. Gak mungkin dia bertahan sampai sekarang. Walaupun saya dulu sekolah di ilmu bisnis, tapi saya juga ngerti ilmu kedokteran. Jadi anda gak akan bisa menipu saya !”, jawab papa. “Ow, kalian pikir saya ini bohong. Apa kalian tau perjuangan Putri untuk tetap bertahan hidup. Itu hanya demi kalian. Dia ingin kalian itu hidup rukun lagi. Dan asal kalian tau juga, kamarin dia nekat kabur dari Rumah Sakit hanya untuk kalian. Dia tak peduli dengan keadaannya. Itu juga hanya demi kalian”, sahut dokter panjang lebar. “Iya tuan, tadi malam saya juga melihat non Putri berdoa sambil menangis”, terus mbok Iyem. “Sekarang terserah kalian mau percaya atau tidak ? Putri akan sangat sedih jika mendengar ucapan kalian itu. Ayo mbok, kita bawa Putri kembali ke Rumah Sakit sebelum terlambat”, celetuk dokter lagi.
Dokter dan mbok Iyem membawaku ke Rumah Sakit. Mbok Iyem masih tidak percaya jika aku bisa mengidap penyakit itu. Sampai di Rumah Sakit, dokter langsung memeriksaku. Keadaanku kritis, antara hidup atau mati. Kemungkinan aku bisa bertahan hidup pun hanya 10%. Dokter telah berusaha maksimal untuk menyelamatkanku, tapi Tuhan berkata lain. Hidupku tlah tiada lagi. Dan saat itu juga, tiba-tiba mama, papa dan kakakku muncul di depanku. Mungkin aku sudah tiada lagi, tapi hatiku masih bisa merasakan kedatangan mereka. Aku bahagia bisa melihat mereka bersama kembali. Semoga mereka bisa seperti ini selamanya. Walaupun jiwaku sudah tidak ada di dekat mereka lagi, tapi hatiku akan selalu di hati mereka.
“Sayang, bangun donk. Mama, papa dan kak Lita telah bersama lagi nich. Kamu harus bangun, sayang. Mama sayang kamu. Mama gak akan mengulangi hal ini lagi, sayang. Mama janji. Kamu bangun, sayang. Mama mohon”, celetuk mama sambil menangis. “Iya, sayang. Papa juga sayang banget sama kamu. Kamu harus bertahan demi keluarga kita. Kamu kan ingin kita bahagia seperti dulu lagi kan. Ayo kita bangun kehidupan seperti dulu lagi, sayang”, tambah papa.
“Adikku, maafin sikap kakak selama ini ya. Maafin kalau selama ini kakak tidak pernah perhatian lagi sama kamu. Kakak sangat menyesal dengan perbuatan kakak. Kamu harus hidup lagi, adikku sayang. Kamu masih ingat Bian kan. Ternyata Bian itu sayang banget sama kamu. Bahkan kakak yang sudah berkali-kali ngedeketin dia, dia juga tetep tidak mau. Kakak gak akan ngerebut Bian dari kamu lagi, dek. Pliss, kamu bangun ya”, kata kakak sambil menangis.
Dalam keadaan masih menangis, mama menemui dokter Arif. “Dok, saya mohon sembuhkan anak saya. Saya gak mau kehilangan dia, dok. Sekali lagi saya mohon sama dokter, tolong selamatkan Putri”, permintaan mama kepada dokter Arif sambil sujud di kakinya. “Ibu, bangun bu. Saya sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi Tuhan berkata lain. Dan saya juga pernah mendengar Putri bilang kalau dia siap jika harus di ambil nyawanya asalkan keluarganya bisa bahagia lagi. Mungkin itu sudah takdirnya”, jawab dokter.
“Ya Allah. Dok, saya minta tolong sekali ini saja. Sembuhkan Putri. Saya belum siap kalau harus kehilangan Putri, dok. Mungkin saya memang bukan seorang ibu yang baik, tapi aku juga ingin melihat dia bahagia. Selama ini dia telah menderita, karena ego saya dok. Saya mohon, dok”, kata mama.
“Maaf, bu. Saya benar-benar tidak bisa. Saya juga sayang sekali sama Putri, dan dia sudah saya anggap anak saya sendiri. Tapi saat ini saya juga tidak bisa berbuat apa-apa lagi”, jawab dokter.
Mama terus menangis. Mungkin mama sangat menyesal, karena selama ini tidak pernah mempedulikan aku lagi. Papa yang sangat tegar pun juga tidak sanggup menerima kenyataan ini.
Aku bahagia bisa melihat mereka bersatu kembali. Maafkanlah aku telah membuat kalian susah dan sedih seperti ini. Aku juga tidak mau membuat kalian sedih seperti ini. Tapi aku juga tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Terima kasih atas semua kebaikan yang telah kalian berikan untukku. Mama, papa dan kak Lita, janganlah menangisi aku lagi ya. Aku akan ikut bahagia jika kalian bahagia. Selamat tinggal mama, papa, kak Lita. Kalian akan slalu ada di hatiku.
Untuk anakku tersayang. Putri anakku, maafkan mama dan papa yang telah membiarkanmu menderita sendiri. Maafkan kami juga, karena selama ini kami selalu membuat hatimu sakit. Mama dan papa janji tidak akan mengulangi hal seperti dulu lagi. Kamu pasti bahagia disana. Terima kasih juga, karena kamu telah membuat kami sadar. Kamu akan slalu ada di hati mama dan papa selamanya. I love you, anakku.
Putri, adik kakak yang paling kakak sayangi. Kakak disini sudah bahagia bersama mama dan papa. Adek juga harus bahagia disana ya. Maaf, jika kakak tidak bisa membalas semua kebaikan kamu. Kamu memang adik kakak yang paling tegar, untuk menghadapi masalah serumit ini. Jika kakak jadi kamu, mungkin kakak tidak akan bisa bertahan lagi. Maafkan kakak, karena selama ini kakak hanya mementingkan ego kakak saja tanpa memikirkan perasaan kamu. Kamu emang the best. Kakak akan slalu sayang sama kamu, selamanya. Dan kamu tidak akan tergantikan di hati kakak. Kakak akan kangen banget sama kamu. I love and I miss You full, my sister. Muaacchhh,,,, :*


*TAMAT*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

coment-coment Vty, Mrz, Dlz