Selasa, 29 November 2011

(Judul: Aku Menyebutnya Matahari)

By:  Eva Farahdiba Nurul Adha
Malam itu jendela kamarku masih terbuka, dan aku duduk tepat di sampingnya. Dingin, namun aku masih bertahan untuk tak beranjak. Kerasnya angin malam itu mengundang percikan – percikan hujan yang kini sedikit membasahi tubuhku, dan aku masih terdiam. Bukan aku tidak menyadari, hanya saja aku rindu dingin itu. Aku rindu dinginnya kota kembang yang membuatku lebih merasa berada dekat dengannya. Dia, aku menyebutnya ‘MATAHARI’. Entah kenapa sejak setahun yang lalu aku suka dengan kata itu. Dan kali ini aku berusaha menghadirkan dia di antara rintik – rintik hujan yang membuatku merasa kedinginan. Malam itu tak ada matahari, bahkan mustahil jika ada matahari. Harusnya aku menghadirkannya di siang hari, saat matahari berada tepat di atas kepala agar aku lebih bisa merasakan kehadirannya. Tapi sejujurnya aku sangat menikmati malam itu sembari berkutat dengan fikiranku tentang matahari.
“Ta, bagaimana kabar langit? Kapan kau akan mengajakku terbang ke sana? Aku merindukanmu Ta.”
Perlahan aku merasa ada sesuatu yang terasa hangat mengalir di pipiku, padahal malam itu benar – benar dingin. Ternyata aku menangis lagi. Memang hanya ini yang bisa ku lakukan untuk sedikit meredam keinginanku. Sampai akhirnya kilatan petir membuyarkan lamunanku, dan aku terjaga. Hujan malam itu begitu deras hingga aku memutuskan untuk menutup jendela kamarku lantas merebahkan diri di tempat tidur.
“Tinggal pilih, dateng atau nyesel.”
Aku teringat dengan apa yang di katakan temanku di telepon beberapa hari yang lalu. Aku berniat tak akan datang. Apa aku seorang yang munafik? Ku rasa tidak, karena aku amat sangat merasakan keberadaan matahari di hatiku. Dan aku tak memiliki keberanian untuk bertanya pada diriku sendiri apakah aku seorang pengecut? Sudahlah, aku ingin mengistirahatkan sejenak seluruh organ tubuhku yang terasa lelah karena aktifitas hari ini yang cukup padat.
“Ta, hadirlah di mimpiku. Aku merindukanmu.” Dan aku terlelap tanpa mimpi apapun. 
                  Aku terbangun tak seperti biasa. Kepalaku pusing dan mata terasa berat. Sepertinya ini akibat dari tangisanku tadi malam. Aku mencari – cari handphone yang seingatku ku taruh di bawah bantal sebelum tidur, dan hasilnya nihil. Bukan aku ingin menghubungi seseorang, namun aku hanya ingin mengetahui jam berapa saat ini. Akhirnya aku beranjak ke ruang tengah, aku melihat jarum jam menunjukkan pukul 07.00.                  
“Astaga!!!” Aku terburu – buru bersiap tanpa sempat menyentuh sarapan yang telah tersedia. Aku pergi dengan mata sembap.                 
Perjalanan menuju kantor terasa lambat penuh emosi, bahkan lagu Mencintaimu Sampai Mati dari Utopia yang semula terdengar biasa pun kini terdengar seperti bernyawa. Mungkin karena efek bass nya yang di setel terlalu besar, atau mungkin itu semua bagian dari pemikiranku yang masih terpaut dengan Matahari. Dan seketika aku berubah fikiran. Aku teringat lagi perkataan temanku.
                 “Aku ingin ada di sana untuk terakhir kali melihatmu Ta.” 
                Hari itu Rabu, 22 September 2010. Aku rasa belum terlambat untuk menyusun kembali rencanaku dari awal. Burung – burung kertas itu tak akan aku abaikan lagi. Karena kali ini aku akan mengumpulkan kembali keberanianku untuk mengetuknya sebelum ia benar – benar pergi.
                 “Emang itu yang harus kamu lakuin. Jangan berfikir atas pertimbangan kamu itu wanita, karena wanita zaman sekarang banyak yang bertindak lebih dari apa yang ingin kamu lakukan.” Ujar Mereka. Memang benar, apa salahnya? Aku memang wanita, dan aku punya mimpi. Siapa yang tahu mimpinya sama dengan ku atau tidak jika bukan aku sendiri yang menanyakannya secara langsung.
                 “Jika bukan karena aku menghargaimu, aku sudah mengatakannya dari dulu. Ta, tetaplah ada untukku.” 
                Aku kembali merasakan kehadirannya lewat burung – burung kertas yang aku ciptakan sendiri. Mungkin lebih tepatnya lagi berusaha menghadirkan dia di antara burung – burung kertas yang jumlahnya masih kurang empat puluh delapan buah untuk menjadikannya sempurna menurut apa yang aku yakini. Aku melihat keceriaan dari burung – burung kertas itu yang tergambar dari warna warninya, mengingatkanku pada saat pertama kali aku bertemu dengannya hingga kini. Benar – benar membuat hidupku lebih berwarna, dan secepatnya aku akan kehilangan sosok yang membuat hidupku berwarna itu.
                 “Kamu pasti dateng kan?” 
                Selalu itu yang mereka tanyakan padaku, dan aku tak pernah menjawabnya dengan pasti. Satu hal yang pasti, sejujurnya aku tak ingin melewatkan hari itu, hari yang memungkinkan aku dapat bertemu dengannya untuk terakhir kali. Karena setelah hari itu aku tak tahu lagi apa yang akan terjadi dengan dua tahun silam yang terlanjur ku habiskan dengan harapan yang hingga kini tak pernah hilang.
                 Malam itu aku menemukannya di antara sekian banyak orang yang memenuhi facebookku. Aku memperhatikannya. Entah mengapa hanya dengan membaca namanya aku merasa ceria kembali.
                 “Arrgghh!! Matahari memang tak ada duanya. Jangan pernah lupakan aku Ta.”
                 Sampai akhirnya aku menyadari sesuatu. Ada perilakunya yang menandakan ketidaknyamanannya akan kehadiranku. Mungkin ini hanya perasaanku, tapi aku yakin ini tak salah. Tak selamanya apa yang menjadi tujuanku menjadi tujuannya juga, termasuk untuk perihal dua tahun yang ku nanti. Aku membiarkannya dengan dirinya, dengan tujuan dan mimpi – mimpi yang ia punya. Seminggu lagi menuju hari itu, hari terakhir ku dengannya, namun aku belum bisa memutuskan apa – apa. Masih antara iya atau tidak. Jika aku datang, setidaknya aku bisa melihatnya mungkin untuk terakhir kali, tapi aku tak mau keinginanku itu membuatnya merasa terganggu. Walau bagaimana pun aku memiliki rasa sayang padanya, dan hakekatnya sayang itu cukup di rasakan sendiri dan sebisa mungkin membuatnya tetap merasa nyaman.
                 Sedikit kecewa, tapi tak apa. Toh aku masih bisa melakukan kebiasaanku tiap kali aku merasa kecewa atau sekedar merasa perlu meredam keinginanku. Apapun itu, yang terpenting aku bisa sedikit merasa lega.                 “Kamu jadi dateng kan?”
                 Sekali lagi mereka menanyakan hal serupa padaku, dan aku masih tak dapat memastikan apa – apa.                 “Kamu harus dateng, atau nggak kamu akan nyesel.” Entah lah, kali ini aku benar – benar merasa lelah, lelah berharap dan lelah harus terus menerus meredam keinginanku. Aku kembali terdiam di tengah hujan dengan rintiknya. Aku menghitung kembali burung – burung kertas yang jumlahnya belum juga berubah, masih tetap kurang empat puluh delapan buah. Kali ini mereka benar – benar akan terlantar, karena aku mengurungkan niatku untuk memberikannya pada Matahari.
                 “Jika dengan aku tetap bersembunyi kau merasa nyaman, akan ku lakukan Ta.” 
                Dengan binar – binar yang aku sendiri tak dapat mengartikannya, aku kembali membereskan burung – burung kertas yang berserakan di lantai kamarku. Apakah ini sebuah keikhlasan ataukah sebuah kekecewaan? Entahlah, kedua perasaan itu kini berkecamuk di benakku. Satu hal yang akan sangat aku ingat, bahwa aku menyayangi Matahari dan aku selalu merindukannya. Dan dia tahu persis akan hal itu.
                 “Datanglah suatu saat untuk membawaku terbang ke langit Ta, setelah itu bawa aku ke manapun kau mau. Karena aku ingin halal bagimu, Insya Allah.” 
                Lalu aku membiarkan semuanya berjalan sewajarnya. Tak ada usaha untuk membawanya bersamaku, karena aku tak ingin membuatnya merasa terganggu. Cukup takdir yang akan memutuskan apakah suatu hari semuanya akan berjalan sesuai dengan yang aku harapkan ataukah tidak.
                 “Jadi kamu mau dateng apa nggak?” Kembali mereka menanyakan hal yang serupa. Dan kali ini aku memberikan jawaban 50:50. Dari kejauhan satu dari mereka menggaruk kepalanya yang tidak gatal pertanda bahwa mereka tidak mengerti apa di balik sikapku. Aku sangat menghargai, betapa mereka ingin agar aku bisa mewujudkan apa yang aku impikan selama ini, atau setidaknya aku tak menyesal karena aku bisa menyaksikan kebahagiaannya untuk terakhir kali.
                 “Dia terlihat gagah, memakai kemeja putih berbalut jas. Lalu ia mengenakan pakaian toga, dan orang tuanya terlihat bangga.” Aku mendengarkannya dengan antusias, sembari tak melepaskan sedetik pun horn telepon yang semakin terasa basah oleh air mataku. Ya, aku tidak datang pada hari terakhir itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

coment-coment Vty, Mrz, Dlz