Kamis, 12 Januari 2012

Sahabat Selamanya

By:  Ashley Mitarockerz
“Anda menderita Leukimia atau kanker darah”  dunia seakan berhenti berputar saat dokter mengatakan hal mengerikan ini padaku. Untuk sesaat, aku kehilangan kata-kata. Kanker? Penyakit yang sampai sekarang belum ada obatnya itu, kini bersarang di tubuhku.
“Kan..ker?” aku menelan ludah.
“Iya. Sudah stadium 3, hal ini diketahui dari hasil tes darahmu. Maaf saya harus mengatakan ini, tapi mungkin usiamu sudah tidak lama lagi mita” jelas dokter itu, membuatku semakin shock.
“Nah, ini obat yang harus kamu beli. Obat ini dapat mengurangi rasa sakitmu. Selama tidak ada keluhan yang berarti, kamu diperbolehkan untuk rawat jalan” ucap dokter itu sambil menulis resep.
“Baik, terima kasih dok. permisi” aku berjabat tangan dengan dokter itu, lalu keluar dari ruangannya.
 
Sambil menunggu obat di apotik, aku terus merenung. Bingung. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Aku hanya sempat demam tinggi dan sering pusing. Terkadang mimisan atau pingsan. Karena itu Dara dan mama menyuruhku untuk mengecek kondisiku ke dokter. Tak kusangka penyakitku separah ini. Haruskah aku beritahukan hal ini pada semua orang? Atau lebih baik aku menyimpannya sendiri?
“Uuukh”  aku bersandar di kursi tunggu itu, menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Tuhan, kenapa harus kanker? Aku tidak mau mati. Keluargaku masih butuh aku. Aku masih ingin berkarir dan berkumpul bersama teman-temanku. Kenapa harus aku yang menerima hal ini? Tak sadar aku menangis. Membayangkan bagaimana nasibku kedepannya.
 
“Mimit, gimana? Kamu sakit apa?” Tanya Dara setelah melihatku pulang dengan wajah lesu. Ah, aku harus jawab apa? Aku tidak mau membuatnya menangis. Dara terus menanti jawabanku. Menatapku dengan wajah kahwatir.
“Gak apa-apa kok, Cuma kecapekan aja” jawabku penuh kebohongan. Dara tersenyum lega.
“Terus, itu obat apa?” tanyanya lagi sambil menunjuk ke kantung plastik berisi obat yang kubawa dari apotik.
“Hm..vitamin” lagi-lagi aku berbohong. Dara mendehem dan masuk ke kamarnya meninggalkanku.
“Huuuuf..” aku menghela napas lega. Ini tidak boleh. Aku harus segera memberi  tahunya soal ini. Tapi nanti, saat aku siap.
 
Seminggu berlalu setelah itu. Tak ada hal aneh yang terjadi. Aku tetap rutin minum obat. Akhirnya aku memberitahu mama tentang kondisiku. Tentu saja ia menangis. Namun ia percaya aku pasti sembuh. Aku tetap menjalani hari-hariku dengan The Virgin seperti biasa. Seperti hari ini, kami tour di sebuah kota.
“Capeeeek” keluh Dara sambil membaringkan tubuhnya di kasur hotel yang nyaman.
“Iya, tapi seru” aku duduk di dekatnya. Yah, 12 lagu memang lumayan menguras tenaga kami. Dara sibuk memainkan BBnya. Aku merasa sangat letih dan agak pusing. Aku merasa ada sesuatu yang mengalir dari hidungku. Apaan ini? Aku menyentuh cairan itu.
“Mita kamu mimisan!” seru Dara panik. Rasa takut langsung menderaku melihat darah yang menempel di jariku. Penyakit itu datang. Aku segera menyambar tisu dan mengelap darah itu.
“Mimiiit..” Dara menatapku cemas.
“Kenapa? Ini kan Cuma mimisan” aku berusaha menenangkannya.
“Tapi akhir-akhir ini kamu sering banget mimisan” mata Dara mulai berkaca-kaca.
“Aku gak apa-apa Neng” aku tersenyum padanya sambil membelai lembut rambutnya. Ia tersenyum. 
Malam itu aku tidak bisa tidur. Aku bangkit dari ranjangku dan menatap kearah Dara yang sedang tidur pulas. “Kalau aku mati kamu gimana ya Neng?” tanyaku yang mungkin tidak didengarnya. Aku lalu mulai berpikir. Dara sangat manja padaku selama ini. Bagaimana nanti jika tidak ada aku? Ini tidak boleh dibiarkan terus. Aku harus merubah sifat manjanya. Oke, mulai besok aku akan memulainya. Program untuk menghilangkan sifat manja Dara. Aku harus cuek padanya. Ini demi kebaikannya. Ia harus membiasakan diri hidup tanpa aku suatu saat nanti.     
 
“Pagi Mimiiiit” sapa Dara sambil meraih tanganku, menggandengnya dengan erat. Aku melepas tangannya perlahan.
“Pagi” sapaku cuek. Dara menunjukkan wajah bingungnya, namun ia masih tidak mempermasalahkan sikapku tadi. Seharian ini aku terus cuek padanya. Jika ia mengajakku bicara, aku hanya menjawab seadanya. Saat dia merangkul atau menggandengku, aku mengelak. Sebenarnya aku merasa sangat bersalah. Namun ini yang terbaik untuknya.
“Mita kamu kenapa sih?” tanyanya sedikit membentak.
“Apanya yang kenapa?” aku bertanya balik.
“Seharian ini kamu cuekin aku! Emang aku ada salah apa sama kamu?” tanyanya bingung.
“Cuek apa sih? Aneh” aku beranjak dari dekatnya, namun ia menarik tanganku.
“Jangan kayak gini dong Mit, aku minta maaf kalo aku ada salah” ucapnya terisak. Saat aku menoleh, kulihat ia berurai air mata. Lagi-lagi menangis.
“Ini yang aku gak suka dari kamu! Kamu tuh cengeng! Manja!” aku membentaknya.
“Kok kamu ngatain aku gitu sih?” protesnya.
“Aku gak ngatain kamu, tapi emang itu kenyataannya. Kamu harus ubah sikap kamu itu! Jangan lagi cengeng! Jangan lagi manja sama aku!”  seruku dengan nada tinggi.
“Kamu kenapa kayak gini sih? Kamu tuh aneh tau gak! Kenapa? Apa alasannya?” kesabaran Dara habis dan ia kini membentakku.
“KARENA AKU GAK BISA SELAMANYA SAMA KAMU!” teriakku.
“Hah?” Dara menatapku heran.
“Aaah!” keluhku dan pergi meninggalkannya. Dara terus memanggil namaku namun aku tidak menghiraukannya.
 
Aku duduk seorang diri di bangku taman. Kenapa jadi begini? Kenapa aku malah bertengkar dengan Dara? Mita begooo! Aku memaki diriku sendiri. Dara tiba-tiba duduk disampingku, menyodorkan gelas juice kepadaku.
“Minum nih Mit, pasti haus abis teriak-teriak” ucapnya sambil tersenyum manis padaku. Aku menerima gelas itu dan meneguk juice itu dari sedotannya.
“Maaf” ucapku sambil menunduk, tidak berani menatap mata Dara.
“Gak apa-apa” jawabnya singkat.  Kami diam-diaman sambil menghabiskan juice kami.
“Mita, maksud kata-kata kamu tadi apa?” Tanya Dara serius, aku tidak menjawab.
“Kasih tau dong mit kalau kamu punya masalah, aku kan sahabat kamu!” Dara mencengkram kedua bahuku, menatapku dengan matanya yang sedang berkaca-kaca.  Aku tidak bisa mengelak lagi.
“Aku sakit neng” aku menggenggam kedua tangannya.
“Sakit? Sakit apa?” tanyanya lagi.
“Kanker darah, sudah stadium 3. Mungkin hidup aku udah gak lama lagi. Makanya tadi aku bilang gitu ke kamu” jelasku sambil menunduk. Dara melepas genggaman tanganku dan perlahan-lahan mundur dariku.
“Bohong..kamu bohong kan Mit?” Tanya Dara tidak percaya, ia meneteskan air matanya.
“Aku serius” aku berkata sejujur-jujurnya, kali ini dia percaya.
“Enggak..gak mau..aku gak mau Mita sakit..uuuh..” ia bicara tertatih-tatih dan akhirnya menangis kencang. Aku memeluknya dengan erat. Mengelus punggungnya agar ia merasa lebih baik.
“Jangan nangis” bisikku. Bukannya berhenti menangis, tangisan Dara malah semakin kencang. Aku tidak tahan lagi, akhirnya aku menangis bersamanya. Maafin aku ya Dar, aku udah bikin kamu nangis kayak gini. Aku memang bukan sahabat yang baik buat kamu.
 
Dara melepas pelukanku dan menghapus air mataku.
“Udah mit.. kita gak boleh sedih kayak gini” ucapnya.
“Ini takdir, kita harus menerimanya. Aku yakin, kamu pasti bisa melewati semua ini Mit” ucapnya lagi sambil menunjukkan senyum manisnya.
“Boleh aku minta satu hal?” Tanya Dara lagi.
“Apa?” aku bertanya balik.
“Aku mau kita berhenti manggung dulu, aku mau kamu konsentrasi nyembuhin penyakit kamu” jawabnya.
“Hah? Kok gitu?” protesku.
“Please mit! Aku gak mau kamu tambah sakit gara-gara kecapekan. Aku mau kamu sembuh. Dan selama pengobatan kamu, aku janji bakal selalu dampingin kamu, sebagai sahabat kamu. Oke?” Dara menatapku penuh harap, aku mengangguk. Ia kembali memelukku.
 
Setelah itu aku menuruti perintah Dara. Aku konsentrasi untuk menyembuhkan penyakitku. Kemoterapi, fisioterapi, semua pengobatan menyakitkan itu aku jalani. Aku bisa tetap kuat menjalani semuanya berkat Dara, dan orang-orang yang kucintai. Kanker ini pelan-pelan membunuhku. Membuat tubuhku semakin kurus dan rambutku semakin menipis karena pengaruh obat. 3 bulan, waktu yang cukup lama bukan? Sampai saat ini aku masih bisa bertahan. Namun aku tahu waktuku tak akan lama lagi.
“HOEK!” aku memuntahkan begitu banyak darah dari mulutku. Membuat bajuku dan lantai kotor dengan darah itu. Aku jatuh terduduk.
“Mita!” Dara yang melihatku segera menolongku, ia membantuku bangkit. Namun tubuhku tak kuat lagi, aku lalu tak sadarkan diri.
 
Yang pertama kulihat begitu membuka mataku adalah ruangan bercat putih. Ah, ini dirumah sakit. Kulihat sekelilingku, ada Dara, mama, serta teman-teman yang lain setia menungguku.
“Mita kamu udah sadar?” Tanya Dara berurai air mata. Sayangnya aku tidak dapat menjawab pertanyaannya. Alat yang dipasang di mulutku ini membuatku susah bicara. Aku menggenggam erat tangan Dara dan menatapnya.
“Mimit..kamu mau pergi ya?” Tanya Dara lagi. Ia memang orang yang paling mengerti aku. Ia tahu apa yang akan aku katakan.
“Kalau kamu mau pergi, pergi aja. Kami udah ikhlas” ucap Dara lagi, ia berusaha tersenyum padaku untuk terakhir kalinya. Semua orang kini mengerubungiku.
Bener ya Neng?
Bener kan kamu gak apa-apa kalau aku pergi?
Karena aku sudah tidak kuat lagi menahan derita ini..
 
“Te..rima.. ka..sih” ucapku tertatih-tatih, air mataku menetes.
“Iya..”  Dara menjawab ucapanku sambil menahan tangisnya. Ia terus menggenggam tanganku. Aku lalu menutup mataku untuk selama-lamanya.
Yang terakhir aku rasakan adalah pelukan hangat Dara. Mendengar tangisannya sambil terus  memanggil namaku. Makasih Dara. Makasih untuk semuanya. Walau kini aku udah gak ada di sisi kamu, kamu tetap sahabatku untuk selamanya. Kamu adalah sahabat terbaik yang pernah aku miliki. 

                                                                          Tamat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

coment-coment Vty, Mrz, Dlz