Kamis, 12 Januari 2012

Dua Detik

By:  Siti Robi'ah
Mobil itu terus melaju, membelah jalanan kota Jakarta. Menerabas derasnya air hujan yang terus-menerus mengguyur bumi tanpa jeda. Bulir air hujan yang menetes pada kaca jendela mobil sama sekali tak membantu mendinginkan gejolak hati gadis−jika masih bisa disebut gadis dengan penampilannya yang menyerupai laki-laki−itu. Dia terus melipat tangan di depan dadanya. Sesekali melirik sinis seorang pemuda yang sebenarnya tampan−namun ia tak pernah menyadari−melalui ujung matanya lalu mendengus sebal. Berkali-kali. Terus-menerus. Gadis itu melakukannya berulang-ulang selama beberapa menit terakhir ini.

"Ya ampun Mit. Lo masih marah gara-gara tadi?" Akhirnya pemuda itu berujar, tak tahan dengan tatapan sinis seorang gadis yang duduk di sampingnya dan keheningan yang membelenggu setiap rongga udara di antara mereka.

Ia melambatkan laju mobil. Namun gadis itu tetap bungkam, tak bergeming sedikitpun.
 
Pemuda tersebut menghela nafas lelah. Memutar setir dan memarkirkannya di tepi jalan, di depan sebuah rumah bambu−semacam pos ronda−yang sepertinya sudah tak terpakai. Setelah mematikan mesin mobil, ia mengubah posisi duduknya mengahadap seorang gadis yang masih cemberut kesal.
 
"Mita." Ia memanggil lembut nama gadis di sampingnya. "Lo marah gara-gara tadi?"
 
Mita tetap tak bergeming. Kembali menciptakan hening yang menusuk. Hanya terdengar suara derum beberapa angkutan bermotor yang melewati jalanan tersebut dan suara tetesan hujan yang mengenai atap mobil. Terdengar bertalu-talu membentuk irama hujan.
 
"Mit. Ngomong dong?"
 
Mita mendengus kesal dan menatap sinis pemuda di sampingnya. Sebuah senyum sinis khasnya dengan menyunggingkan sebelah bibir kanan menghiasi wajahnya.
 
"Maksud lo apa ngomong kalo gue cewek lo di depan wartawan-wartawan itu tadi?" Mita menjawab santai namun dengan nada membentak. "Lo pikir gue seneng? Lo kira lo itu cowok keren? Cowok ganteng? Yang bebas bicara seenak jidat lo? Hah! Gila lo!"
 
Pemuda itu terdiam, membiarkan Mita mengeluarkan semua amarahnya. Beberapa detik setelah Mita menyelesaikan kalimatnya, ia langsung mendekap gadis di hadapannya yang masih bernafas terputus-putus.
 
Mita terdiam beberapa saat. Tersadar. Ia mendorong dada pemuda yang mendekapnya erat tersebut. "Ikmal!" Ia membentak pemuda tersebut. "Cari mati lo!" Mita memandang marah pemuda di depannya.
 
Ikmal, pemuda tersebut memegang tangan Mita. Menggenggamnya erat. Ia balas menatap tatapan marah Mita, memandangnya dengan sorot mata lembut.
 
"Gue gak tau gue mau mati atau enggak. Tapi yang jelas, gue cinta sama lo. Gue ngaku-ngaku cowok lo karena gue gak mau kehilangan lo. Gue takut karena lo gak pernah nanggepin gue. Lo ngerti kan maksud gue?" Ikmal menatap lembut Mita.
 
"Hah." Mita berujar sinis. "Cinta? Lo bilang cinta? Pemaksaan lo bilang cinta? Bullshit! Tau apa lo tentang cinta?"
 
Mita memalingkan wajahnya. Memandang bulir-bulir air hujan yang mengalir turun melalui kaca depan mobil yang sepertinya lebih menyenangkan untuk dipandang. "Asal lo tau. Gue gak pernah punya rasa suka, cinta, sayang, apapun itu namanya sama lo. Gue gak mau lo terlalu berharap. Ngerti lo?" Ia berujar pelan, namun perkataannya menghasilkan hening yang lebih mencekam.
 
Ikmal terdiam beberapa saat. Mengangkat kedua tangannya. Memegang kedua pipi Mita, menelusuri tiap lekuk wajah Mita dengan jari-jari tangan yang selalu indah di matanya. Ia mengangkat pelan dagu Mita supaya menghadapnya. Lantas menatap dalam mata gadis itu. Entah apa yang ia pikirkan. Detik berikut ia mendekatkan wajahnya ke arah Mita, yang masih terdiam kaget dengan keadaan. Membuat kedua nafas yang terhembus saling beradu. Ikmal sedikit memiringkan kepalanya. Sepersekian detik berikut kedua insan itu menghapus jarak yang membentang. Menahan desah nafas yang memburu. Menghentikan waktu yang berdetak. Memacu detak jantung berpacu cepat.
 
Dua detik singkat yang terasa begitu lama. Ikmal tersadar, lantas menjauhkan kepalanya. Menatap lembut kedua mata indah di hadapannya. "Apapun yang terjadi. Gue tetap sayang sama lo."
 
Mita terdiam, mencerna yang baru saja terjadi. Perlahan ia mengangkat tangan kanannya, menyentuh bibirnya yang terasa kebas. "Lo. Apa yang lo..." Mita tak dapat menyelesaikan kalimatnya.
 
"Gue serius dengan apa yang gue ucapkan. Gue gak maksa lo. Tapi gue mohon. Lo jangan benci gue." Ikmal menghela nafas pelan. "Gue bakalan nunggu sampai lo mau. Gue akan selalu jagain lo."
 
Ikmal tersenyum kecil. Mengacak pelan puncak kepala Mita. Lantas menghidupkan mesin mobil. Kembali melaju membelah jalanan Jakarta, menerabas tetesan hujan yang beranjak reda. Membiarkan Mita yang masih terdiam. Memberinya rongga untuk bernafas dengan beberapa kata yang masih melayang dalam pikirannya.
 
***
 
Cinta. Begitu sederhana dengan makna yang selalu dipersulit. It's just simple. I love you.
 
***
 
Mita melangkah pelan memasuki pintu depan rumah. Pikirannya masih kacau. Berbagai pertanyaan terus berputar dalam otaknya, meminta penjelasan. Ia menggeleng pelan. Relung-relung kosong dalam otaknya seakan terisi dengan kilasan kejadian tadi. “Haaahh...” Ia menghela nafas, lelah dengan pikirannya yang mendadak gila. Apa kejadian dua detik itu begitu berpengaruh sampai ia tak bisa menyingkirkan bayangan pemuda−yang menurutnya−berengsek itu.
 
Mita menghentikan langkah ketika samar-samar telinganya mendengar suara tangisan. Ia mengernyit heran, lantas berjalan menuju sumber suara. Berdecak kesal ketika tahu siapa sumber tangisan itu. Seorang gadis sebayanya−dengan sifat berbanding terbalik dengan kepribadiannya yang terlalu macho untuk ukuran wanita−sedang duduk di atas kursi ruang tengah rumah Mita sambil mengangkat kedua kaki dan menelungkupkan wajah pada kedua lututnya. Sesekali punggungnya bergetar, seiring dengan suara isak tangis yang keluar.
 
“Heh! Ngapain lo di sini?” Mita berujar ketus. Tak peduli gadis tersebut sedang menangis sedih.
 
Gadis itu mengangkat kepala, menatap Mita−sahabatnya yang kadang kurang peka dengan situasi, lantas menangis lebih keras. “Lo satu-satunya wanita berdarah dingin yang pernah gue temuin. Gue lagi sedih malah dimarahin.” Gadis itu berujar, dengan air mata yang terus keluar. Membuat Mita berdecak kesal. Ia berjalan menghampiri gadis itu. Membanting tas selempang pada kursi, lalu duduk di samping sahabatnya tersebut.
 
“Kenapa?” Mita bertanya masih dengan suara ketus.
 
“Gue kan lagi sedih Mit. Malah dibentak.”
 
Mita memutar kedua bola matanya. Dengan senyum yang terlalu dipaksakan, Mita kembali berujar. “Kenapa nangis Neng Daraku ini?” Mita memanggil lembut−dengan nada terpaksa−nama gadis itu.
 
Dara, gadis tersebut mengubah posisi duduknya menghadap Mita. “Rio....” Dengan suara yang semakin bergetar Dara memulai sesi curhatnya. “Dia... dia... selingkuh....” Tangis derasnya kembali pecah.
 
“Lo sih. Dulu kan gue udah bilang. Jangan pacaran sama dia. Dia tuh playboy. Lo sih, gak mau dengerin gue. Ya salah lo sendiri kalo sekarang lo sedih.” Mita berujar santai namun kata-katanya bukan malah menenangkan tapi malah membuat tangisan Dara semakin keras.
 
“Lo gak pernah ngerasain... ngerasain ke-ke-hilangan ya? Sedih Mit rasanya. Sesek. Sampai lo susah bernafas.” Dara berujar terbata dengan air mata yang terus keluar. Mita mengernyit bingung. “Lo... lo... tuh ya. Gue lagi sedih bukannya hibur gue malah nyalahin gue.” Dara berujar kesal, karena Mita tak kunjung mengerti.
 
“Heh! Gue tuh nasihatin lo. Bukan nyalahin.” Mita membela diri.
 
“Itu bukan nasehatin. Tapi mojokin gue. Tega lo!”
 
Mita menghela nafas lelah. Membuka kedua tangannya, lantas membawa Dara kedalam pelukannya. Ia menepuk pelan punggung Dara, seolah ia mengerti perasaan Dara.
 
“Sakit Mit rasanya. Dia punya cewek lain. Tapi anehnya gue gak bisa lupain dia, gue masih sayang dia Mit. Gue selalu inget semua kebaikan yang dia lakuin buat gue.” Dara kembali berbicara dalam dekapan sahabatnya tersebut. Ia tak yakin Mita bisa merasakan kepedihan yang ia rasakan. Tapi ia tak peduli. Yang penting ia bisa mengeluarkan segala unek-unek hatinya. “Lo ngerti kan Mit. Gimana rasanya kehilangan?” Dara menatap sebentar mata Mita.
 
Mita mengangguk, tersenyum kecil mencoba menenangkan Dara. Berpura-pura mengerti−meskipun ia tak tahu bagaimana rasanya kehilangan. “Ia gue ngerti kok. Ntar gue samperin tuh Si Rio. Biar dia kapok.”
 
Dara mengangkat kepalanya. “Jangan!” Mita mengernyit heran. “Gue gak mau Rio kenapa-napa. Kan kasian.”
 
Mita menatap sahabatnya bingung. Dia kan baru saja nangis karena Rio, masih juga kasihan? Mita tak habis pikir apa sebenarnya isi kepala Dara. Kenapa ia begitu−menurutnya−bodoh.
 
“Iya. Paling juga patah tulang tuh anak.” Mita kembali berujar yang sukses membuat Dara melotot tajam.
 
***
 
Hal-hal baru dan segudang kegiatan kadang dapat melupakan sebagian memori yang sangat sulit dilupakan. Meskipun memori tersebut selalu menghantui pikiran setiap saat, tapi setidaknya adiktif memori itu tidak terlalu kuat.
 
Mita mencoba menjadi Mita yang biasanya. Meskipun perubahan-perubahan kecil sering terlihat. Ia mencoba untuk bersikap biasa pada pemuda itu, yang setiap hari selalu mencari perhatiannya. Mita mencoba untuk tetap tersenyum, meskipun rasanya sulit. Hanya saja ia tak mau menjawab beribu pertanyaan jika sikapnya mendadak berubah.
 
Suara gitar mengalun merdu pada beranda rumah bertingkat di salah satu perumahan di Jakarta. Dua sahabat yang sangat bertolak belakang sifat terlihat begitu kompak. Suara Dara mengalun lembut, dengan diiringi suara bass Mita sambil bermain gitar. Sebuah suara berat seorang pemuda menghentikan permainan mereka. Dara menatap senang pemuda tersebut, berbanding terbalik dengan Mita yang menatap jengah pemuda tersebut.
 
“Hai Mal! Ikut latihan yuk!” Dara berujar antusias. “Perasaan hampir tiap hari ya lo sekarang ke sini.”
 
Ikmal tersenyum manis, yang menurut Mita malah terlihat memuakkan.
 
“Ngapain lo ke sini?” Mita bertanya sinis. “Enek tau liat muka lo tiap hari.”
 
Dara menyikut pelan perut Mita. “Ih! Kok lo ngomongnya gitu sih.” Dara tersenyum sebentar pada Ikmal, merasa tak enak dengan kelakuan Mita. “Kalian kan biasanya kompak.”
 
“Itu dulu.” Mita berujar santai, dengan tangan yang terus memainkan asal gitar dalam pangkuannya.
 
Dara melotot kesal pada Mita. Ikmal yang memang mengerti apa yang Mita pikirkan mencoba tersenyum santai. “Udah. Gak apa-apa kali.”
 
“Sory ya Mal. Si Mita kayaknya lagi kesambet. Duduk Mal, atau mau di dalem?” Dara mempersilakan Ikmal bergabung dengan mereka.
 
Ikmal hendak duduk ketika suara Mita kembali terdengar. Membuatnya kembali berdiri.
 
“Hari ini gue lagi gak nerima tamu cowok. Jadi bilang aja ada perlu apa lo ke sini?” Mita berujar ketus.
 
Ikmal memandang Mita tajam. Tangannya mengepal. Nafasnya memburu cepat.
 
Mita membalas tatapan tajam pemuda tersebut. Tersenyum meremehkan. “Hei! Lo budek ya? Gue lagi gak nerima tamu cowok. Jadi lo ngomong aja. Ada perlu apa lo ke sini?” Mita kembali berujar, karena Ikmal tak kunjung buka suara.
 
Ikmal tersenyum sinis. Entah kenapa, sekarang ia seakan merasa lelah dengan kesabaran yang selama ini ia tunjukkan di hadapan Mita. “Hei!” Ikmal sedikit membentak. “Lo punya hati gak sih? Gue datang baik-baik ke sini. Asal lo tau. Selama ini gue berusaha sabar ngadepin sikap kasar lo. Lo tau kenapa? Karena gue sayang sama lo. Bisa gak sih lo hargain perasaan orang dikit aja.” Ikmal tersenyum sinis. Nada suaranya bergetar marah. “Ternyata selama ini gue bego. Udah jatuh cinta sama lo.”
 
Mita tertawa kecil. “Emang gue nyuruh lo suka sama gue? Bukannya lo sendiri yang bilang kalo lo cinta sama gue dan bakalan nunggu gue sampai gue mau? Terus ini yang lo bilang cinta? Gue udah bilang kan, gue gak percaya cinta lo.” Mita berusaha terlihat santai, meskipun pikirannya sedang kacau.
 
Ikmal meninju kesal tiang rumah Mita. Ia membungkukan badannya. Mensejajarkan mulutnya dengan telinga Mita yang dalam posisi duduk. “Lo. Cewek berdarah dingin yang pernah gue temuin selama ini. Dan begonya, gue malah suka sama lo.” Ikmal berbisik pelan. Terdengar seperti desisan marah.
 
Ikmal tersenyum sinis. Lantas membalikkan badannya, meninggalkan kedua sahabat itu dalam keheningan yang terasa mencekam. Meninggalkan aroma kecanggungan pada setiap butir udara yang menguar. Dara terdiam dengan perasaan kecewanya pada Mita yang kali ini sikapnya terlalu kasar. Sementara Mita terdiam dengan pikirannya yang entah bagaimana. Ia sendiri bingung. Apakah ia menyesal atau puas dengan sikapnya tadi.
 
Ikmal melajukan mobil dengan kecepatan maksimal. Sebenarnya ia tak tega berbicara sekasar itu pada Mita, gadis yang sangat ia cintai. Entah setan apa yang merasuki pikirannya sampai ia bisa berbicara separti itu. “Argh!” Ikmal berteriak kesal pada dirinya sendiri, mengacak kasar rambut mohawknya.
 
Mobil itu terus melaju dengan kecepatan tinggi. Meliuk melintasi setiap kendaraan yang lewat. Ikmal menatap kosong ke depan. Pikirannya kacau. Ia memutar setir, berbalik arah. Kembali menuju kediaman Mita. Ia harus meminta maaf. Mobilnya kembali melaju cepat. Menerabas jalanan Jakarta.
 
Entah bagaimana kronologisnya. Kejadian itu berlangsung cepat. Separti kecepatan cahaya yang menembus kegelapan.
***
 
“Mit. Kali ini lo keterlaluan.” Dara berujar. Menggelengkan pelan kepalanya.
 
Mita tersenyum sarkatis. “Gue emang cewek berengsek.” Sepertinya ia tak mendengar perkataan Dara. Ia berdiri, melangkah pelan memasuki rumah. Tepat ketika sampai di ambang pintu masuk, kakinya mendadak lemas. Mita terjatuh, menimpa gitar yang ia pegang.
 
Dara tergopoh menghampiri Mita. “Lo gak apa-apa?” tanyanya khawatir.
 
“Gak apa-apa.” Mita berdiri perlahan. Mengangkat gitar yang patah tertimpa tubuhnya. Deg! Mita merasakan degup jantungnya berdetak cepat. Ia menatap gitar tersebut. Gitar itu pemberian Ikmal ketika ulang tahunnya yang ke delapan belas. Kilasan kenangan itu kembali berputar. Saat Ikmal dengan muka senang memberinya gitar tersebut. Saat Ikmal tertawa menggodanya. Saat Ikmal selalu membela dirinya dalam situasi apapun. Saat kejadian di dalam mobil itu. Dan semua kejadian yang ia lewati bersama Ikmal. Semuanya seolah terrefleksi dengan jelas.
 
“Ikmal.” Mita bergumam pelan.
 
Dara yang kebetulan ada di sampingnya menatap Mita tak mengerti. “Ikmal? Kenapa Ikmal?”
 
Belum sempat Mita menjawab, dering ponsel terdengar. Menjerit-jerit nyaring. Mita mengangkat ponselnya. “Halo,” katanya dengan suara yang sedikit bergetar.
 
“Apa anda temannya saudara Ikmal?” Terdengar suara dari seberang.
 
“Iya. Saya temannya.”
 
“Saya menemukan nama kontak anda pada panggilan terakhir korban.”
Deg! “Ko-kor-ban? Maksudnya?” Mita bertanya bingung. Perasaan tak enak menghampiri dirinya.
 
“Iya. Saudara Ikmal kecelakaan. Dia tabrakan dengan sebuah truk. Kami membawanya ke Rumah Sakit Mutiara Kasih...” Lama-lama suara orang di seberang telepon terdengar samar.
 
Mita merasakan tangannya melemah. Ponsel yang ia pegang terjatuh, membentur lantai, pecah. “Dia kecelakaan. Dan gue baru saja membentaknya.” Mita merasakan kedua pelupuk matanya menghangat. Cairan bening itu bergulir turun, membasahi pipinya. Itulah pertama kalinya ia merasakan ketakutan yang begitu besar. Ia takut Ikmal meninggalkannya.
 
Dara mendekap Mita yang kali ini terlihat begitu rapuh. “Ikmal kenapa Mit?” Dara bertanya lirih di sela isakan Mita yang terdengar.
 
***
 
Setiap pertemuan selalu berakhir dengan perpisahan. Dan hampir setiap perpisahan selalu berakhir dengan tangisan. Takdir memang tidak bisa dihindari. Bukan takdir jika sesuatu itu bisa berubah. Karena pada kenyataannya manusia selalu kalah dengan takdir.
 
Pusara itu sudah sepi. Hanya seorang gadis berambut pendek yang masih di sana. Terus-menerus mengeluarkan air mata semenjak dari rumah sakit kemarin. Sesal dan rasa kehilangan itu terus menggelayuti. Seperti besi yang ditumpuk pada dadanya. Sesak. Ternyata merasa kehilangan itu menyakitkan. Sekarang ia mengerti kenapa dulu Dara menangis seperti itu. Berkali-kali ia minta maaf pada Ikmal−yang tak lagi bisa mendengar perkataan maafnya−dan keluarganya, meskipun keluarganya sama sekali tidak menyalahkannya.
 
Mita terduduk lemah. Menatap nanar pusara seseorang yang baru ia sadari ternyata begitu berharga. Air mata penyesalan dan kehilangan kembali keluar. Menerabas pelupuk matanya, mengalir perlahan melalui pipi tirusnya.
 
“Maafin gue Mal. Gue udah bikin lo meninggal. Gue... gue... gak tau harus ngapain sekarang. Seandainya... seandainya gue sadar dari dulu... gue... gue cinta lo Mal.” Mita terisak pedih di sela perkatannya. “Maafin gue Mal... maafin gue. Gue nyesel... maafin gue.” Entah sudah berapa kata maaf yang telah keluar dari mulut gadis itu selama dua hari terakhir ini. “Apa yang harus gue lakuin... apa yang harus gue lakuin buat nebus kesalahan gue? Maafin gue Mal.” Mita terisak lebih keras. Ia menundukkan kepala, menyesali perkataannya dua hari lalu.
 
“Moving on Mit.” Tiba-tiba terdengar suara berat di belakangnya.
 
Mita refleks membalikkan badannya. Kosong. Tak ada siapapun. “Mal. Itu lo kan? Ikmal?!” Mita berteriak sedikit keras. “Ikmal.” Air mata itu keluar lebih banyak. Mita mencoba tersenyum. Dengan suara yang masih bergetar, ia berujar pelan. “Gue akan berusaha.” Kedua tangannya memegang liontin kalung berbentuk gitar, pemberian Ikmal satu tahun lalu.
 
***
 
Cinta itu indah jika bisa merasakannya. Cinta itu tetap indah meskipun tidak selalu berakhir indah. Cinta itu untuk semua.
 
***
 
                                                                               TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

coment-coment Vty, Mrz, Dlz